Saturday, December 26, 2015

SEMPURNAKANLAH HAJI DAN UMRAH KARENA ALLAH SWT

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan Umrah sebelum Haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga bari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Setelah Allah menyebutkan hukum puasa, dilanjutkan dengan uraian mengenai jihad, Dia beranjak menjelaskan masalah manasik. Dia memerintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah. Lahiriyah konteks ayat ini adalah menyempurnakan amalan-amalan ibadah haji dan umrah setelah memulai pelaksanaannya. Maka setelah itu Allah berfirman: fa in uhshirtum (“jika kamu terkepung”) maksudnya jika kalian terhalang untuk sampai ke Baitullah dan terganggu dalam menyempurnakan ibadah haji dan umrah.

Untuk itu, para ulama sepakat bahwa memulai ibadah haji dan umrah mengharuskan penyempurnaan keduanya, meskipun dikatakan umrah itu wajib atau dianjurkan, sebagaimana keduanya menjadi pendapat para ulama.

Syu’bah, meriwayatkan, dari Amr bin Murrah dan dari Sufyan ats-Tsauri, mengenai ayat ini ia mengatakan, “Penyempurnaan haji dan umrah berarti anda mulai dari rumah berniat ihram hanya untuk menunaikan ibadah haji dan umrah serta membaca talbiyah dari miqat.”
Banyak hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur, dari Anas dan beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah menggabungkan dalam ihramnya antara haji dan umrah. Dan ditegaskan dalam hadits shahih bahwa beliau pernah bersabda kepada para sahabatnya: “Barangsiapa yang membawa binatang kurban, maka hendaklah ia berihram untuk haji dan umrah.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah juga bersabda dalam hadits shahih: “Umrah itu masuk ke dalam haji sampai hari kiamat.”

Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dan Ya’la bin Umayyah mengenai kisah seseorang yang bertanya kepada Nabi, ketika beliau berada di J’iranah. Orang itu bertanya: “Bagaimana menurut pendapatmu mengenai seseorang yang berihram untuk umrah, sedang ia mengenakan jubah dan wangi-wangian?” Rasulullah terdiam, lalu turun kepada beliau wahyu, maka beliau mengangkat kepalanya seraya bertanya: “Di mana orang yang bertanya tadi?” “Aku di sini,” jawabnya. Beliau pun bersabda: “Mengenai jubah maka lepaslah, dan wangi-wangian yang menempel pada bajumu maka cucilah. Kemudian apa yang telah engkau lakukan untuk hajimu, maka kerjakanlah hal itu untuk umrahmu.”

Dan firman Allah: fa in uhshirtum famastaisara minal Hadyi (“Jika kamu terkepung [terhalang oleh musuh atau karena sakit], maka [sembelihlah] kurban yang mudah didapat.”) Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun ke-6 Hijrah, yakni tahun perjanjian Hudaibiyah. Yaitu ketika kaum musyrikin menghalangi Rasulullah agar tidak sampai ke Baitullah. Pada saat itu Allah Ta’ala menurunkan surat al-Fath secara keseluruhan dan memberikan keringanan kepada mereka dengan menyembelih binatang kurban yang mereka bawa, yaitu sebanyak 70 ekor unta, mencukur rambut mereka dan bertahallul. Pada saat itu Rasulullah langsung menyuruh mereka mencukur rambut dan bertahallul, namun mereka tidak mengerjakannya karena menunggu datangnya nasakh (penghapusan hukum), sehingga beliau keluar dan mencukur rambutnya, dan setelah itu orang-orang pun melakukannya. Di antara mereka ada yang memendekkan rambutnya dan tidak mencukur bersih.

Tahallul: Berlepas diri dari Ihram haji sesudah selesai mengerjakan amalan-amalan haji: Pent.
Karena itu Rasulullah bersabda: “Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mencukur bersih rambutnya.” Para sahabat bertanya, “Juga orang-orang yang memendekkannya, ya Rasulullah?” Dan pada ketiga kalinya beliau bersabda, “Dan juga yang memendekkannya.” (Muttafaq `alaih)

Mereka menyembelih kurban untuk bersama, setiap satu unta untuk tujuh orang, sedang jumlah mereka ada 1400 orang. Ketika itu mereka berada di Hudaibiyah, di luar Tanah Haram. Ada juga yang mengatakan bahwasanya mereka berada di pinggiran Tanah Haram. Wallahu a’lam.
Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat, apakah halangan itu dikhususkan pada musuh saja, sehingga tidak boleh melakukan tahallul kecuali orang yang dikepung musuh, tidak termasuk penyakit atau lainnya?

Mengenai hal itu terdapat dua pendapat. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Tidak ada halangan kecuali oleh musuh. Sedangkan orang yang jatuh sakit atau tersesat, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Allah Ta’ala hanyalah berfirman: fa idzaa amintum (“Jika kamu telah merasa aman,”) dan rasa aman berarti tidak terkepung.”

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa halangan itu lebih umum dari sekedar pengepungan yang dilakukan oleh musuh termasuk halangan sakit, atau tersesat, atau semisalnya.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari al-Hajjaj bin Amr al-Anshari, katanya, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa luka, sakit atau pincang, baginya mengerjakan haji pada waktu yang lain.”
Al-Hajjaj mengatakan: “Lalu hal itu aku kemukakan kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, maka keduanya pun berujar, “Engkau benar.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh para penyusun empat kitab hadits yang bersumber dari Yahya bin Abi Katsir.

Diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pernah datang menemui Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Muthallib, lalu ia berkata: “Ya Rasulallah, aku ingin menunaikan haji, sedang aku dalam keadaan sakit.” Maka beliau pun bersabda: “Tunaikanlah haji dan syaratkanlah bahwa tempat tahalulku berada dimana aku tertahan.”
Hadits senada juga diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas.

Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwasanya dibolehkan pensyaratan dalam haji berdasarkan pada hadits ini. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i telah mendasarkan kebenaran pendapat ini pads kebenaran hadits tersebut. Sedangkan Baihaqi dan para huffaz mengatakan keshahihan hadits ini. Segala puji bagi Allah.

Dan firman Allah Ta’ala: fa mastaisara minal Hadyi (“Maka [sembelihlah] kurban yang mudah didapat.”) Imam Malik meriwayatkan, dari Ali bin Abi Thalib, mengenai firman-Nya ini, ia mengatakan: “Yaitu kambing.”
Ibnu Abbas mengatakan, al-Hadyu termasuk delapan pasangan, yaitu unta, sapi, biri-biri, dan kambing.
Mengenai firman Allah swt. tersebut, ats-Tsauri meriwayatkan, dari Habib dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Yaitu kambing.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Atha’, Mujahid, Thawus, Abu al-Aliyah, Muhammad bin Ali bin Husain, Abdur Rahman bin Qasim, asy-Sya’abi, an-Nakha’i, Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan, dan ulama lainnya. Dan hal itu merupakan pendapat para imam empat (Hanafi, Malik, asy-Syafi’i dan Hanbali).

Al-Aufi menuturkan: “Jika mampu, maka hendaklah menyembelih unta, jika tidak mampu maka hendaklah menyembelih sapi, dan jika tidak mampu, maka hendaklah menyembelih kambing.”
Dalil yang menjadi landasan keshahihan pendapat jumhurul ulama mengenai diperbolehkannya menyembelih kambing ketika dalam keadaan terkepung (terhalang) adalah, bahwa Allah telah mewajibkan penyembelihan binatang yang mudah didapat. Artinya, binatang kurban yang mudah didapat apa pun jenisnya. Dan yang di maksud dengan al-Hadyu adalah unta, sapi, dan kambing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, ulama yang luas pengetahuannya, penafsir al-Qur’an dan anak paman Rasulullah saw.

Dan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim telah ditegaskan, hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah pernah berkurban dengan kambing sekali.”
Dan firman Allah Ta’ala: walaa tahliquu ru-uusakum hattaa yablughal Hadyu mahillatu (“Dan janganlah kamu mencukur bersih rambutmu sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.”) Firman-Nya ini merupakan kelanjutan dari firman-Nya: wa atimmul hajja wal ‘umrata lillaaHi (“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”) Dan bukan kelanjutan dari firman-Nya: fa in uhshirtum fa mastaisara minal Hadyi (“Jika kamu terkepung [terhalang oleh musuh atau karena sakit], maka [sembelihlah] kurban yang mudah didapat.”) Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jarir rahimahullahu, karena Nabi dan para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah, ketika mereka terkepung (terhalang) oleh orang-orang kafir Quraisy sehingga tidak dapat memasuki Tanah Haram, mereka mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Haram. Adapun di saat aman dan dapat sampai ke Tanah Haram maka mereka tidak diperbolehkan mencukur rambut; hattaa yablughal hadyu mahillaHu (“Sehingga kurban sampai ke tempat penyembelihannya,”) dan selesailah pelaksanaan ibadah haji dari semua amalan manasik haji dan umrah, jika ia mengerjakan haji qiran, atau mengerjakan salah satu dari keduanya jika ia melakukan haji ifrad, atau Tamattu.

Haji Qiran: Umrah dan haji dilakukan secara bersamaan.
Haji Ifrad: Berhaji dan berumrah secara terpisah. Selesai haji baru umrah atau umrah sebelum musim haji, kemudian berhaji dimusim haji.
Haji Tamattu’: Mengerjakan umrah di musim haji, kemudian mengerjakan haji.

Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Hafshah, ia menanyakan: “Ya Rasulullah, mengapa orang-orang bertahallul dari umrah, sementara engkau sendiri tidak bertahalul dari umrahmu?” Maka Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya aku telah membiarkan rambutku menggempal, kusut dan mengikat binatang kurbanku sehingga aku tidak akan bertahallul sebelum menyembelihnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan firman Allah: fa man kaana minkum mariidlan aubiHii adzam mir ra’siHii fa fidyatum min syiyaamin au shadaqatin au nusuk (“Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya [lalu ia mencukur], maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban.”)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ashbahani, aku pernah mendengar Abdullah bin Ma’qil berkata, aku pernah duduk dekat Ka’ab bin Ajrah di masjid ini, yaitu masjid Kufah. Lalu kutanyakan kepadanya mengenai fidyah dengan puasa, ia pun menjawab, aku pernah dibawa menghadap Nabi saw, sedang kutu berjatuhan di wajahku, maka beliau bersabda: “Aku tidak menduga bahwa gangguan yang engkau alami sampai seperti ini, apakah engkau mempunyai kambing?” “Tidak,” jawabku. Kemudian beliau saw. bersabda: “Berpuasalah tiga hari atau berikanlah makan kepada enam orang miskin, setiap orang miskin memperoleh setengah sha’ (Sha’ = 2 mud, 1 mud = 6 ons) makanan dan cukurlah rambutmu.” Jadi, lanjut Ka’ab bin Ajrah, ayat tersebut diturunkan khusus mengenai diriku, dan secara umum untuk kalian.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Ka’ab bin Ajrah, katanya, aku pernah dikunjungi Nabi ketika aku tengah menyalakan api di bawah kuali, sementara kutu berjatuhan di wajahku, atau ia mengatakan, di dahiku. Maka beliau pun bertanya, “Kutu-kutu kepalamu itukah yang menyakitimu?” “Ya,” jawabku. kemudian beliau bersabda, “Cukurlah rambutmu dan berpuasalah tiga hari atau berikanlah makan kepada enam orang miskin atau sembelihlah kurban.”
Mengenai hadits di atas, Ayub mengatakan, “Aku tidak tahu, mana yang didahulukan.”
Hadits senada juga diriwayatkan Imam Malik, dari Ka’ab bin Ajrah.

Mengenai firman Allah Ta’ala: fa fidyatum min shiyaamin au shadaqatin au nusuk (“Maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban,”) Ibnu Abbas, mengatakan, “Jika menggunakan kata “au” (atau), maka manapun dari ketiga hal itu yang engkau kerjakan, maka engkau akan mendapatkan pahala.”

Berkenaan dengan hal itu, penulis (Ibnu Katsir) katakan, yang demikian itu merupakan madzhab empat imam dan utama pada umumnya. Dalam hal ini, seseorang diberikan pilihan, jika menghendaki ia boleh berpuasa, dan jika menghendaki ia boleh bersedekah, dengan tiga sha’ makanan, setiap orang miskin mendapatkan setengah sha’ makanan atau sama dengan dua mud, dan jika berkehendak ia juga boleh menyembelih kurban dan menyedekahkannya kepada para fakir miskin. Artinya, mana saja dari ketiga hal itu yang dipilih, maka sudah cukup baginya. Oleh karena lafadz al-Qur’an menerangkan keringanan, maka dijelaskan dari hal yang lebih mudah kepada yang lebih mudah lagi, yaitu: fa fidyatum min shiyaamin au shadaqatin au nusuk (“Maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban,”)

Dan ketika Nabi saw. menyuruh Ka’ab bin Ajrah melakukan hal itu, beliau membimbingnya kepada pilihan yang lebih utama, beliau bersabda, “Sembelihlah kambing, atau berikan makanan kepada enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari.” Semuanya itu baik dalam kedudukannya masing-masing. Segala puji bagi Allah.
Hisyam menceritakan, Laits memberitahu kami, dari Thawus, bahwa ia pernah berkata: “Fidyah berupa kurban atau memberikan makanan, dilakukan di Makkah, sedangkan puasa, boleh dilakukan di mana saja.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Atha’, dan Hasan al-Bashri.

Dan firman Allah: fa idzaa amintum fa manit tamatta’a bil ‘umrati ilal hajji famastaisara minal Hadyi (“Jika kamu sudah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji [di dalam bulan haji], [wajiblah ia menyembelih] kurban yang mudah didapat.”) Artinya, jika memungkinkan bagi kalian mengerjakan manasik haji, maka barangsiapa di antara kalian yang mengerjakan umrah diteruskan kepada haji, termasuk berihram untuk haji dan umrah, atau berihram untuk umrah terlebih dahulu dan setelah itu berihram untuk haji yang disebut tamattu’ khusus, dan inilah yang dikenal dikalangan para fuqaha. Adapun tamattu’ yang bersifat umum, mencakup dua bagian tersebut. Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa hadits shahih. Karena di antara para perawi ada yang menyatakan, Rasulullah bertamattu’, dan ada juga yang menyatakan bahwa Rasulullah mengerjakan haji qiran, dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa beliau menggiring (membawa) hewan kurban.

Dan Allah swt. berfirman: fa manit tamatta’a bil ‘umrati ilal hajji famastaisara minal Hadyi (“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji [di dalam bulan haji], [wajiblah ia menyembelih] kurban yang mudah didapat.”) Maksudnya, hendaklah ia menyembelih apa yang mampu ia dapatkan, minimal kambing, dan boleh juga menyembelih sapi, karena Rasulullah pernah menyembelih sapi untuk isteri-isterinya.

Al-Auza’i meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah pernah menyembelih sapi untuk isteri-isterinya, yang sedang mengerjakan haji tamattu’. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Mardawaih.
Ini menunjukkan disyari’atkannya tamattu’. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Imran bin Hushain, ia menuturkan, “Ayat tamattu’ diturunkan dalam kitab Allah dan kami pernah mengerjakannya bersama Rasulullah saw. Kemudian tidak diturunkan ayat yang mengharamkan dan melarangnya sampai beliau wafat. Lalu ada seseorang menyatakan pendapatnya sekehendak hatinya.
Al-Bukhari mengatakan, “Disebutkan bahwa orang itu adalah Umar.” Apa yang dikatakan al-Bukhari, ini telah dinyatakan secara jelas pernah melarang orang-orang bertamattu’ seraya berujar, “Jika kita pada kitab Allah, maka sesungguhnya Dia menyuruh kita menyempurnakannya, yakni firman-Nya: wa atimmul hajja wal ‘umrata lillaaHi (“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”)
Sebenarnya Umar tidak melarang haji tamattu’ dalam arti mengharamkannya. Ia melarangnya supaya banyak orang yang menuju Baitullah menunaikan ibadah haji bersama umrah, sebagaimana yang telah dikemukakannya.

Dan firman Allah swt: fa mal lam yajid fashiyaamu tsalaatsata ayyaamin fil hajji wa sab’atin idzaa raja’tum tilka ‘asyaratun kaamilatun (“Tetapi jika ia tidak menemukan [hewan kurban atau tidak mampu], maka ia wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi jika kamu sudah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”) Allah Ta’ala menyatakan, barangsiapa yang tidak menemukan hewan kurban, maka hendaklah ia berpuasa tiga hari pada hari-hari mengerjakan manasik. Para ulama mengatakan, “Yang lebih ulama adalah berpuasa sebelum Arafah, yaitu dalam 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah).” Demikian dikatakan Atha’. Atau boleh juga dimulai dari waktu berihram, menurut Ibnu Abbas dan ulama lainnya, berdasarkan firman-Nya, “Dalam masa haji.”
Dan asy-Sya’abi membolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya. Demikian pula dikatakan Mujahid, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, Atha’, Thawus, al-Hakam, Hasan al-Bashri, Hamad, Ibrahim, Abu Ja’far al-Baqir, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Jika seseorang tidak menemukan hewan kurban, maka ia harus berpuasa tiga hari pada masa haji sebelum hari Arafah. Jika hari Arafah merupakan hari puasa yang ketiga, maka telah sempurnalah puasanya. Sedangkan puasa tujuh hari dilakukan sepulang dari haji.”
Hal senada juga diriwayatkan oleh Abu Ishak dari Wabrah, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Yaitu berpuasa satu hari sebelum hari Tarwiyah, pada hari Tarwiyah, dan pada hari Arafah.” Demikian juga yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ali. Jika ia belum berpuasa pada hari-hari itu atau tersisa sebagian dari hari itu sebelum hari raya, maka apakah ia boleh berpuasa pada hari-hari Tasyriq?”
Mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat di antara para ulama, dan keduanya juga merupakan pendapat Imam Syafi’i. Menurut pendapatnya yang lama (qaulul qadim), yaitu bahwa ia boleh berpuasa pada hari-hari itu, berdasarkan pads ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha dan Ibnu Umar dalam kitab Shahih al-Bukhari, “Tidak diberikan keringanan berpuasa pada hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban.” Demikian diriwayatkan Imam Malik dari az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, juga diriwayatkan dari Salim, dari Ibnu Umar serta diriwayatkan dari keduanya melalui beberapa jalur.

Dan juga diriwayatkan Sufyan, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ali, katanya, “Barangsiapa yang tertinggal mengerjakan puasa tiga hari pada saat haji, maka ia boleh mengerjakannya pada hari-hari Tasyriq.” Hal itu dikemukakan pula oleh Ubaid bin Umair al-Laitsi, dari Ikrimah, Hasan al-Bashri, dan Urwah bin Zubair. Mereka berpendapat demikian itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala: fa shiyaamu tsalaatsati ayyaamin fil hajji (“Maka ia wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.”) Dan menurut pendapat baru Imam Syafi’i (qaulul jadid) bahwasanya tidak diperbolehkan berpuasa pada hari-hari Tasyriq, berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Muslim, dari Qutaibah al-Hadzali katanya, Rasulullah bersabda: “Hari-hari Tasyriq itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah swt.” (HR. Imam Muslim)
Hari Tarwiyah: tanggal 8 Dzu1hijjah.
Hari Arafah: tanggal 10 Dzulhijjah.
Hari Taysriq: tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Firman-Nya: wa sab’atin idzaa raja’tum (“Dan tujuh hari [lagi] jika kamu sudah pulang kembali.”) Mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat.

Pertama, pada saat kalian berada dalam perjalanan pulang. Karena itu Mujahid mengatakan: “Itu merupakan rukhshah, jika ia menghendaki ia boleh berpuasa dalam perjalanan.” Hal senada juga dikemukakan oleh Atha’ bin Abi Rabah.

Kedua, pada saat kalian sudah tiba di negeri kalian. Abdur Razak menceritakan, ats-Tsauri memberitahu kami, dari Yahya bin Sa’id, dari Salim, aku pernah mendengar Ibnu Umar membaca ayat: fa mal lam yajid fashiyaamu tsalaatsata ayyaamin fil hajji wa sab’atin idzaa raja’tum; lalu ia mengatakkan: “Jika ia sudah pulang kembali kepada keluarganya.”

Demikian juga yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Abu al-Aliyah, Mujahid, Atha’, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Qatadah, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas. Dan Abu Ja’far bin Jarir telah menyebutkan ijma’ mengenai hal itu.
Al-Bukhari meriwayatkan, dari Salim bin Abdillah, bahwa Ibnu Umar menuturkan, “Rasulullah pernah mengerjakan haji sebelum umrah pada saat menunaikan haji wada’, lalu beliau berkurban. Beliau menggiring (membawa) hewan kurbannya dari Dzulhulaifah. Pertama beliau berihram untuk umrah, kemudian untuk haji. Selanjutnya orang-orang pun bertamattu’ bersama beliau. Rasulullah memulai dengan umrah dan setelah itu baru haji. Di antara orang-orang itu ada yang berkurban dan menggiring hewan kurbannya, dan ada juga di antara mereka yang tidak berkurban. Setelah Nabi sampai di Makkah, beliau bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang menyembelih kurban, maka tidak dihalalkan baginya mengerjakan sesuatu yang diharamkan baginya hingga ia selesai mengerjakan hajinya. Dan barangsiapa di antara kalian yang tidak menyembelih kurban, maka hendaklah ia mengerjakan thawaf di Baitullah, sa’i di Shafa dan Marwah, hendaklah memotong (memendekkan) rambutnya dan bertahallul, kemudian hendaklah ia berihram (bertalbiah) dengan niat haji. Barangsiapa yang tidak mendapatkan hewan kurban, maka hendaklah ia berpuasa tiga hari pada saat haji dan tujuh hari ketika pulang kembali kepada keluarganya.” Dan seterusnya.
Az-Zuhri mengatakan, Urwah juga memberitahuku, dari Aisyah hal yang sama dengan apa yang diberitahukan Salim kepadaku, dari ayahnya. Hadits tersebut termuat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Mulsim, dari az-Zuhri.
Firman-Nya: tilka ‘asyaratun kaamilaatun (“Itulah sepuluh hari yang sempurna.”) ada yang mengatakan, hal itu sebagai penekanan, seperti halnya orang Arab mengatakan: “Aku melihat dengan mataku sendiri.” “Aku mendengar dengan telingaku sendiri.” Dan “Aku menulis dengan tanganku sendiri.” Dan seperti firman Allah yang artinya: “Dan tiadalah burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya.” (QS. Al-An’aam: 38)

“Dan Kami telah janjikan kepada Musa [memberikan Taurat] sesudah berlalu waktu tiga malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu sepuluh [malam lagi], maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam.” (QS. Al-A’raaf: 142)
Ada juga yang mengatakan kata “kaamilatun” (sempurna) itu sebagai perintah untuk menyempurnakannya. Demikian yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Dan perintah Allah selanjutnya: dzaalika limal lam yakun aHluHu haadliril masjidil haraam (“Demikian itu [kewajiban membayar fidyah] bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah).”
Ibnu Jarir mengemukakan, “Para ahli takwil (maksudnya ahli tafsir, pent.) berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud firman Allah tersebut setelah mereka semua sepakat bahwa yang dimaksudkan di sini adalah penduduk Tanah Haram, dan bahwasanya tidak ada tamattu’ bagi mereka.” Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah penduduk Tanah Haram saja dan bukan yang lainnya.

Ibnu Basyar meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Mereka itu adalah penduduk Tanah Haram.” Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Mubarak, dari ats-Tsauri. Dalam hal itu Ibnu Jabir memilih madzhab Imam Syafi’i, bahwa mereka itu adalah penduduk Tanah Haram dan orang-orang yang berada di sekitarnya pada jarak yang tidak boleh baginya mengqashar shalat, karena ia termasuk sebagai orang yang menetap di sana dan bukan sebagai musafir. Wallahu a’lam.
Dan firman Allah Ta’ala: wat taqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Yaitu dalam segala hal yang telah diperintahkan dan dilarang-Nya bagi kalian.

Wa’lamuu annallaaHa syadiidul ‘iqaab (“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah sangat keras sikaan-Nya.”) Maksudnya bagi orang-orang yang menentang perintah-Nya dan melakukan apa yang dilarang-Nya.


No comments:

Post a Comment